Jumat,
13 Juli 2012 08:32 AM
Toilet
Guru
Deandra
Wibisono...
Dulu,
senyum gadis pemilik nama itu membuatku ikut ceria.
Dulu,
dia selalu menyapaku dengan manis.
Dulu,
aku memuja kepribadian dan prestasinya yang menurutku terbaik seantero sekolah.
Dulu,
aku dan dia sering bercanda bersama.
Dulu,
aku dan dia memiliki hubungan guru dan murid yang paling akrab yang pernah ada.
Tapi
itu DULU...!
Sekarang,
gadis yang sama membuatku menangis tersedu-sedu di sini.
Sekarang,
dia mempermalukanku di depan teman-teman sekelasnya.
Sekarang,
dia dengan sukses membuatku meracau.
Sekarang,
aku menyesal pernah peduli dengannya.
***
Jumat , 13 Juli 2012 07:07 AM
Ruang Guru
Kruuuuuuk…
Aduh… perutku sudah berteriak-teriak dari sepuluh menit lalu. Aku memang sengaja tidak membawa sarapan pagi ini karena kemarin Mr. Edmund bercerita kalau nasi uduk yang dijual di dekat rumahnya super enaaaak. Aku pun dengan setia menunggu Mr. Edmund dan nasi uduk pesananku datang.
“Haloooooooo!”
“Akhirnya datang juga! Keadaan lapar darurat nih!”
“Maaf ya, bu. Tadi aku telat bangun. Hehehehe… Yuk, kita sarapan bareng.”
Aku dan Mr. Edmund memang akrab. Dia itu sosok kakak laki-laki yang tidak pernah aku punya. Ya, nasib anak tunggal! Menurutku, Mr. Edmund itu dewasa dan nyambung diajak ngobrol. Tapi, keakaraban kami berdua sering disalahartikan oleh guru-guru lain, bahkan oleh murid-murid. Maklum, kami berdua memang sama-sama masih jomblo. Namun sejauh ini, aku tidak punya perasaan lebih untuk dia. Kami memang cuma teman, teman dekat.
“Duh…kalau makan, jangan berantakan donk, Mr. Ed. Kayak bebek deh!”
“Gak apa-apa kalau aku makan kayak bebek… Daripada bebek makan kayak aku.”
Mendengar candaan Mr. Edmund, sontak aku pun menyemburkan makanan yang ada di mulutku ke kemeja putihnya. Oops…!
“Kemeja baru dicuci nih, Vi.”
“Wah, maaf maaf... Kamu bercandanya begitu sih.”
“Pokoknya bersihin sampai kayak baru beli!”
Aku pun mengambil dua lembar tisu dan dia menarik tanganku ke arah dadanya, memaksaku membersihkan kemejanya. Sambil tersenyum-senyum, aku berusaha mengelapnya. Kemudian, aku sempat terhenti sesaat. Aku merasa seperti ada yang memerhatikan kami berdua. Mataku berputar-putar ke sekeliling ruangan dan jendela, berupaya mencari orang yang melihat kami.
“Kenapa berhenti, Vi? Masih ada saus kacangnya nih.”
“Iya, sebentar.”
***
Jumat,
13 Juli 2012 08:15 AM
Ruang Kelas
Pagi ini, Dea, begitu nama panggilan gadis itu, tertidur di kelasku. Rambutnya yang lurus dan panjang hampir menutupi meja dimana dia merebahkan kepalanya. Seharusnya, aku tidak bisa menoleransi kelakuannya karena aku paling tidak suka ada murid yang tertidur di kelasku. Tapi karena statusnya sebagai 'murid kesayangan', aku memutuskan untuk bicara baik-baik dengannya.
"Dea..."
bisikku, "Kenapa kamu tidur di kelas?"
"Bukan
urusanmu, Ms. Viola!"
Sontak
jawaban Dea, yang disampaikan dengan volume tinggi, mengagetkanku. Dia tidak
pernah bicara seperti itu padaku.
"Dea,
bicara yang sopan. Saya ini guru kamu. Show some respect!"
"Halah...dasar
guru gila hormat! Baru ngajar
Bahasa Inggris udah
sombong! Lagipula guru kepo macam lo itu
pantasnya mengajar di
SMP negeri Inpres yang di pelosok-pelosok."
"DEA,
KAMU TARIK KATA-KATAMU DAN MINTA MAAF ATAU..."
"ATAU
APA? LO MAU
APA?! Lo jangan macam-macam deh! Besok,
kalau gue udah beli sekolah ini, gue pastikan lo nggak terdaftar lagi sebagai guru. Gue ini
anak orang kaya. Gue bisa beli
apapun yang gue mau, termasuk lo!"
Then, it happened! Tanganku sudah terangkat, sudah siap untuk menampar pipinya yang putih. Dia pun terdiam.
"Sekarang kamu keluar dari kelas ini sebelum saya tampar mulut kamu!" kataku dengan suara tercekat, menahan amarah yang sudah sampai di ubun-ubun. Aku bahkan sudah tidak sanggup melihat mata coklatnya.
Then, it happened! Tanganku sudah terangkat, sudah siap untuk menampar pipinya yang putih. Dia pun terdiam.
"Sekarang kamu keluar dari kelas ini sebelum saya tampar mulut kamu!" kataku dengan suara tercekat, menahan amarah yang sudah sampai di ubun-ubun. Aku bahkan sudah tidak sanggup melihat mata coklatnya.
***
Jumat,
13 Juli 2012 08:40 AM
Ruang
Guru
Setelah sekitar 5 menit aku menangis di toilet guru,
akhirnya aku melihat orang yang kucari-cari. Aku kembali menangis, kali ini di
pelukan Mr. Edmund.
"Aku ga mengerti, Mr. Edmund. Who
was that evil girl in my class?" kicauku padanya.
"Hey...don't say that, Vi!"
"But, it's true. She talked and acted like an
evil. Itu bukan dia. Aku tahu, itu bukan Dea murid kita. Dia tidak pernah
bicara dan berlaku seperti itu sebelumnya."
"Tapi akhir-akhir ini, dia memang berubah. Dia
lebih sering murung dan menyendiri di balkon. Nanti aku akan bicara dengan Mr.
Zain. Dia kan guru BP. Dia pasti tahu apa yang harus
dilakukan. Udah, jangan nangis lagi. Kayak bocah aja."
Aku menyesap teh manis buatan Mr. Edmund yang ia seduh.
"Semoga Mr. Zain cepat-cepat bicara dengan Dea,"
kataku dalam hati.
Entah setan apa yang merasuki Dea tadi dan entah setan
mana pula yang merasukiku sehingga aku mau menampar dia. Tapi kata-kata dan
perlakuannya membuatku sakit hati. Rasanya lebih sakit daripada dikhianati
kekasih. Ada sedikit penyesalan karena aku pernah membangga-banggakan dia.
Semuanya sia-sia setelah kejadian tadi.
Tiba-tiba, pintu ruang guru terbuka. Ternyata itu Dea!
Dia berjalan menuju ruangan kepala sekolah melewati kami, melewati aku yang
masih menyandarkan kepalaku di bahu Mr. Edmund. Dia menatapku dengan tatapan
yang sangat tajam, jauh lebih tajam dari tatapannya di kelas tadi. Aku pun
langsung membetulkan posisi dudukku. Aku
berupaya bersikap wajar tapi siapa sangka itu sulit.
“Aku takut Mr. Edmund” bisikku sambil mencengkeram
lengan Mr. Edmund.
“Hush, dia itu masih anak-anak, kok kamu takut?”
Sayup-sayup terdengar lagu dari radio sekolah, Somebody
that I Used to Know dari Gotye. Aku memandang punggung Dea sambil
tersenyum kecut mendengar liriknya,
I guess that I don’t need that though
Now you’re just somebody that I used to know…
***
No comments:
Post a Comment