Jumat, 13
Juli 2012 06:43 AM
Beranda
Sekolah
Deandra
Wibisono...
Muridku
yang satu ini dikenal sebagai seorang anak perempuan yang ceria, cerdas dan
juga ramah, sangat pantas menjadi figur murid teladan. Hampir setiap pagi dia
membuka pintu kantor guru, menyapa semua guru yang hadir dengan senyum manis
mengembang lebar di bibirnya yang tipis.
Tapi
pagi ini Dede, begitu dia akrab kupanggil, berdiri mematung lesu di beranda
sekolah, tidak jauh dari kelasnya di lantai dua. Kami memang akrab, bahkan
lebih akrab dari sekedar hubungan guru dan murid. Seringkali kami mengobrol,
baik ketika istirahat makan siang di kantin maupun sekadar chatting lewat messenger
pada malam hari menjelang tidur.
Well, menurutku Dede memang anak yang
manis dan menyenangkan untuk diajak berbagi cerita, karenanya aku merasa nyaman
untuk membahas hal-hal ringan
di samping matematika, pelajaran yang aku ampu. Pendekatan yang aku lakukan
kepadanya cukup berhasil mengangkat motivasinya dalam belajar, bukan hanya
dalam pelajaranku tapi juga hampir di semua pelajaran. Namun aku selalu menjaga
jarak dan membatasi komunikasi di antara kami. Aku
tidak mau Dede salah tangkap,
dan mengartikan hubungan ini sebagai hubungan yang tidak sewajarnya.
Ditambah
lagi, di tahun kelimaku mengajar, aku berambisi menduduki posisi kepala sekolah.
Minggu lalu, Kepala Yayasan memanggilku dan memberi isyarat agar aku bersiap
untuk mengikuti seminar kepala sekolah di Jakarta. Kesempatanku meraih impian
pun tinggal selangkah lagi, itulah sebabnya
aku lebih memilih bermain aman dan menjaga jarakku dengan Dede.
“Masih
mikirin Robby, De?”
tanyaku sambil menghampirinya. Baru kali ini aku datang disambut dengan muka
masam olehnya.
“Mmmm...”
timpalnya dengan anggukan
lemah. Terlihat sekali kemuraman di wajahnya mengisyaratkan bahwa dirinya
enggan diganggu oleh siapapun.
“Kan
ada Mr. Edmund, senyum doonk!” godaku
sambil mengusap kepalanya. Usahaku berhasil, dia melirik ke arahku sambil
mengembangkan sesimpul senyum. Detik
selanjutnya, sebuah gigitan gemas pun mendarat di lenganku dengan indahnya.
“Awwwww!”
***
Kamis, 12
Juli 2012 9:54 PM
Kamar
Tidurku
PING!!!
Telepon
pintarku menyalak nyaring. Pesan masuk dari Dede, “Mau curhat nih, Mr.
E!” Ya, begitulah dia memanggilku, “Misteri”. Bukan karena aku orang yang
misterius, tapi karena panggilanku yang terlalu panjang, sehingga dia lebih
memilih memanggilku Mr.
E ketimbang Mr. Edmund.
“Di Messenger aja!” jawabku singkat. “Sebentar, Mr. E nyalain komputer dulu! ”
“Kenapa?
Gak bisa
ngetik di keypad? Dasar jadul!” balasnya meledek.
Aku
hanya membacanya dengan senyum kecut. Kalau saja murid lain yang meledekku,
mungkin akan kumarahi habis-habisan.
Belum
sampai semenit komputerku menyala,
messenger-ku pun popping up. Dede
memulai pembicaraan.
Dede
Deandra : Misteeeeeeerrrrr Eeeeeeeeeeeeeeeee!!!
Dede
Deandra : BUZZ!!!!
Me : Nyantai
dooonk! :P
Dede
Deandra : Robby mutusin aku! Katanya
aku cupu n gak pantes buat dia! Hiks..hiks..
Me : Really?
Masak sih dia bilang begitu? Kok
bisa? Kenapa emang?
Dede Deandra : Tadi waktu aku
mau turun dari mobilnya, dia narik aku n
nyium aku. Awalnya aku tanggepin,
tapi terus dia mulai ngeraba-raba gitu. Yang ada aku reflek nampar dia!
terus aku malah dimaki-maki sama dia, dibilang sok jual mahal lah, gak pengertian lah, sok suci lah, cupu n pokoknya yang jelek-jelek, sir!
Me : Hah? Kurang ajar banget dia! Tapi kamu gak apa-apa kan? Bagus kalau kamu masih
nolak artinya you are a good girl.
Dialah yang gak pantes buat kamu! You deserve
the better one than him.
Dede Deandra :
Aku gak apa-apa. Tapi aku sakit hati banget karena abis itu dia mutusin aku. Padahal
kan aku cuma
pengen menjaga keperawanaanku sampai kami nikah nanti. Ini udah yang ketiga
kalinya aku diputusin karena aku nolak nurutin
kemauannya dia itu. Selama ini dia bilang putus, tapi sejam setelah itu
biasanya dia telepon. Tapi tadi dia ngancem
aku, katanya ini yang terakhir n dia
bener-bener mutusin aku, sejam
setelah itu pun dia gak menghubungi aku lagi. Aku bener-bener diputusin!
Huaaaaaaaaa!!! :’’’(((
Me : Hush! Yang kayak gitu gak pantes
ditangisin. Kamu udah melakukan hal yang benar. Kalau emang dia sayang sama
kamu, seharusnya dia gak boleh egois mikirin maunya sendiri. Udah udah nanti Mr
cariin pacar yang lebih pantas buat kamu.
Dede Deandra :
Bener yaa.. Ini aku udah kayak orang
mau mati rasanya, nangis dari tadi ga
bisa berhenti air
matanya, sampe dibilang cengeng sama kakakku.
Me : Oya? Uuuu, cup cup.. Sini, sini, biar Mr. E peluk. Eh, Skype’an yuk! Mr. E
mau lihat seorang Dede nangis kayak
gimana?
Dede Deandra : Ih, si Mr. E maaah! Orang beneran sedih juga malah diledekkin!
Lagi banyak gangguan nih. Aku lagi online di ruang makan,
kamarku lagi dipinjem kakak, di ruang tamu Papa sama Mama
lagi perang dunia. Bikin orang tambah
stress aja!
Me : Duh, kasihan banget Dedeku ini. Yang sabar yaa.. Mr yakin kamu kuat, pasti bisa
melewati semua ujian ini.
Dede Deandra : Amiin. Buat
Dede, you are my last hope, jangan ninggalin Dede ya,
awas lho!
Me : Tenang tenang.. I’ll be there for you, tinggal sebut nama Mr. E aja 3 kali, Mr. E pasti dateng. Janji dehh!
Dede Deandra : Hahahaha...
Janji ya! Beneran lho! Udah ah, aku mau tidur dulu, biar stress-nya ilang. Bye
Mr. E.
Me : Bye Dede, See you at school!
Dede Deandra signed out
***
Jumat, 13
Juli 2012 08:55 AM
Ruang
Guru
"Aku ga
mengerti, Mr. Edmund. Who was that evil girl in my class?"
Viola, rekan
kerjaku menangis terisak di pelukanku tanpa henti. Sudah 15 menit bahuku basah
karena air matanya yang terus menetes.
Pada jam
pelajaran English yang diampunya
tadi, Dede membentak Viola dengan kata-kata yang sangat melecehkan. Padahal
selama ini hubungan keduanya sangat baik. Viola pun selalu memuja prestasi dan
kepribadian Dede yang dianggapnya paling baik di antara anak-anak lain di
sekolah ini.
Aku tahu ini
pasti buntut dari masalah-masalah yang menimpa Dede belakangan ini. Pusing juga
aku dikelilingi oleh perempuan-perempuan yang perasaannya sangat sensitif dan
labil. Padahal baru kemarin aku melihat mereka akrab bercanda soal idola
masing-masing.
“Mendingan aku, sukanya sama Justin Bieber karena
emang dia ganteng, daripada Ms Viola, sukanya sama Whitney Houston, udah
penyanyi jadul, bunuh diri pula! Dih, apa enaknya bunuh diri, masalah nggak
selesai mati juga akhirnya.”
Ledekan itu pun berakhir dengan kata ‘ampun’ yang keluar dari mulut Dede karena
perutnya digelitik Ms. Viola tanpa henti.
Menurutku Ms.
Viola pun bukan guru yang memiliki kepribadian yang dewasa. Seringkali emosinya
meledak-ledak. Tiba-tiba marah, tapi sejam kemudian tertawa lepas, mendadak
menangis, tapi tak lama menari-nari senang. Tadi pagi saja dia masih berbagi
cerita lucu denganku sambil menyantap sarapannya. Saking lucunya cerita-cerita kami, sampai dia pun menyemburkan
makanan yang disantapnya ke kemeja batik putihku. Alhasil aku pun memaksanya
membersihkan hingga semua noda di kemejaku hilang.
“Pokoknya bersihin sampai kayak baru beli!” paksaku
sambil menarik tangannya yang menggengam tissue ke arah dadaku yang berlumuran
saus kacang.
Aku memang
dipandang Viola sebagai salah satu teman yang lebih dewasa dan nyambung untuk diajak bicara, baik itu
serius, santai, maupun serius tapi santai. Karena itulah aku cukup dekat
dengannya. Ditambah lagi status kami berdua masih sama-sama lajang. Tak jarang
kedekatan kami menimbulkan gosip di kalangan rekan-rekan guru maupun
murid-murid di sekolah ini. Tapi sejauh ini, kami berdua memang masih menikmati
kelajangan kami dan menganggap hubungan ini lebih baik bila hanya sebatas teman
dekat saja.
“Udah,
diminum dulu tehnya biar sedikit lega. nanti keburu dingin tuh.” kataku mencoba melepaskan pelukan Viola yang masih
sesenggukan.
"She
talked and acted like an evil. Itu bukan dia. Aku tahu, itu bukan Dea murid
kita. Dia tidak pernah bicara dan berlaku seperti itu sebelumnya." ujar Viola
lirih sambil menyesap teh hangat yang aku buatkan.
"Tapi
akhir-akhir ini, dia memang berubah. Dia lebih sering murung dan menyendiri di
balkon. Nanti aku akan bicara dengan Mr. Zain. Dia kan guru BP, pasti
tahu apa yang harus dilakukan. Udah, jangan nangis lagi, kayak bocah
aja!” godaku sambil mengusap
sisa-sisa air mata Viola yang menggenang di wajah bulatnya.
Bersamaan
dengan itu, tanpa disangka Dede melintas,tak jauh di depan meja tempat aku dan
Viola berada, menuju ruangan Kepala Sekolah yang terletak di sebelah ruangan
guru. Dia melintas perlahan dan cukup dekat. Cukup dekat pula untukku bisa
melihat wajahnya yang menunduk namun sesekali mencuri pandang, memunculkan tatapan
tajam ke arahku dan Viola bak macan yang hendak menerkam mangsanya.
“Aku takut
Mr. Edmund” bisik Viola seraya mencengkeram lenganku seolah meminta
perlindungan.
“Hush, dia
itu masih anak-anak, kok malah kamu yang takut,” hiburku mencoba menyembunyikan
kekhawatiranku akan apa yang terjadi selanjutnya. Karena yang aku tahu, kalau
seorang anak sudah dipanggil Kepala Sekolah, maka hari berikutnya dia tidak
akan masuk, mungkin diskors, atau bisa juga trauma.
Di sisi
lain, aku pun mengkhawatirkan Viola. Menurutku, kalau Dede sampai menatapnya
begitu tajam, maka pasti ada sesuatu yang salah, entah dengan Viola, dengan
Dede, atau dengan keduanya.
No comments:
Post a Comment