Tuesday, September 25, 2012

The School Chronicles - Part 2


Jumat, 13 Juli 2012 06:43 AM

Beranda Sekolah

Deandra Wibisono...

Muridku yang satu ini dikenal sebagai seorang anak perempuan yang ceria, cerdas dan juga ramah, sangat pantas menjadi figur murid teladan. Hampir setiap pagi dia membuka pintu kantor guru, menyapa semua guru yang hadir dengan senyum manis mengembang lebar di bibirnya yang tipis.

Tapi pagi ini Dede, begitu dia akrab kupanggil, berdiri mematung lesu di beranda sekolah, tidak jauh dari kelasnya di lantai dua. Kami memang akrab, bahkan lebih akrab dari sekedar hubungan guru dan murid. Seringkali kami mengobrol, baik ketika istirahat makan siang di kantin maupun sekadar chatting lewat messenger pada malam hari menjelang tidur.

Well, menurutku Dede memang anak yang manis dan menyenangkan untuk diajak berbagi cerita, karenanya aku merasa nyaman untuk membahas hal-hal ringan di samping matematika, pelajaran yang aku ampu. Pendekatan yang aku lakukan kepadanya cukup berhasil mengangkat motivasinya dalam belajar, bukan hanya dalam pelajaranku tapi juga hampir di semua pelajaran. Namun aku selalu menjaga jarak dan membatasi komunikasi di antara kami. Aku tidak mau Dede salah tangkap, dan mengartikan hubungan ini sebagai hubungan yang tidak sewajarnya.

Ditambah lagi, di tahun kelimaku mengajar, aku berambisi menduduki posisi kepala sekolah. Minggu lalu, Kepala Yayasan memanggilku dan memberi isyarat agar aku bersiap untuk mengikuti seminar kepala sekolah di Jakarta. Kesempatanku meraih impian pun tinggal selangkah lagi, itulah sebabnya aku lebih memilih bermain aman dan menjaga jarakku dengan Dede.

“Masih mikirin Robby, De?” tanyaku sambil menghampirinya. Baru kali ini aku datang disambut dengan muka masam olehnya.

“Mmmm...” timpalnya dengan anggukan lemah. Terlihat sekali kemuraman di wajahnya mengisyaratkan bahwa dirinya enggan diganggu oleh siapapun.

“Kan ada Mr. Edmund, senyum doonk!” godaku sambil mengusap kepalanya. Usahaku berhasil, dia melirik ke arahku sambil mengembangkan sesimpul senyum.  Detik selanjutnya, sebuah gigitan gemas pun mendarat di lenganku dengan indahnya. 

“Awwwww!”

***

Kamis, 12 Juli 2012 9:54 PM

Kamar Tidurku

PING!!!

Telepon pintarku menyalak nyaring. Pesan masuk dari Dede, “Mau curhat nih, Mr. E!” Ya, begitulah dia memanggilku, “Misteri”. Bukan karena aku orang yang misterius, tapi karena panggilanku yang terlalu panjang, sehingga dia lebih memilih memanggilku Mr. E ketimbang Mr. Edmund.

“Di Messenger aja!” jawabku singkat. “Sebentar, Mr. E nyalain komputer dulu! ”

“Kenapa? Gak  bisa ngetik di keypad? Dasar jadul!” balasnya meledek.

Aku hanya membacanya dengan senyum kecut. Kalau saja murid lain yang meledekku, mungkin akan kumarahi habis-habisan.

Belum sampai semenit komputerku menyala, messenger-ku pun popping up. Dede memulai pembicaraan.

Dede Deandra : Misteeeeeeerrrrr Eeeeeeeeeeeeeeeee!!!

Dede Deandra : BUZZ!!!!

Me               : Nyantai dooonk! :P

Dede Deandra : Robby mutusin aku! Katanya aku cupu n gak pantes buat dia! Hiks..hiks..

Me               : Really? Masak sih dia bilang begitu? Kok bisa? Kenapa emang?

Dede Deandra : Tadi waktu aku mau turun dari mobilnya, dia narik aku n nyium aku. Awalnya aku tanggepin, tapi terus dia mulai ngeraba-raba gitu. Yang ada aku reflek nampar dia! terus aku malah dimaki-maki sama dia, dibilang sok jual mahal lah, gak pengertian lah, sok suci lah, cupu n pokoknya yang jelek-jelek, sir!

Me                  : Hah? Kurang ajar banget dia! Tapi kamu gak apa-apa kan? Bagus kalau kamu masih nolak artinya you are a good girl. Dialah yang gak pantes buat kamu! You deserve the better one than him.

Dede Deandra  : Aku gak apa-apa. Tapi aku sakit hati banget karena abis itu dia mutusin aku. Padahal kan aku cuma pengen menjaga keperawanaanku sampai kami nikah nanti. Ini udah yang ketiga kalinya aku diputusin karena aku nolak nurutin kemauannya dia itu. Selama ini dia bilang putus, tapi sejam setelah itu biasanya dia telepon. Tapi tadi dia ngancem aku, katanya ini yang terakhir n dia bener-bener mutusin aku, sejam setelah itu pun dia gak menghubungi aku lagi. Aku bener-bener diputusin! Huaaaaaaaaa!!! :’’’(((

Me                  : Hush! Yang kayak gitu gak pantes ditangisin. Kamu udah melakukan hal yang benar. Kalau emang dia sayang sama kamu, seharusnya dia gak boleh egois mikirin maunya sendiri. Udah udah nanti Mr cariin pacar yang lebih pantas buat kamu.

Dede Deandra  : Bener yaa.. Ini aku udah kayak orang mau mati rasanya, nangis dari tadi ga bisa berhenti air matanya, sampe dibilang cengeng sama kakakku.

Me                  : Oya? Uuuu, cup cup.. Sini, sini, biar Mr. E peluk. Eh, Skype’an yuk! Mr. E mau lihat seorang Dede nangis kayak gimana?

Dede Deandra : Ih, si Mr. E maaah! Orang beneran sedih juga malah diledekkin! Lagi banyak gangguan nih. Aku lagi online di ruang makan, kamarku lagi dipinjem kakak, di ruang tamu Papa sama Mama lagi perang dunia. Bikin orang tambah stress aja!

Me                  : Duh, kasihan banget Dedeku ini. Yang sabar yaa.. Mr yakin kamu kuat, pasti bisa melewati semua ujian ini.

Dede Deandra : Amiin. Buat Dede, you are my last hope, jangan ninggalin Dede ya, awas lho!

Me                  : Tenang tenang.. I’ll be there for you, tinggal sebut nama Mr. E aja 3 kali, Mr. E pasti dateng. Janji dehh!

Dede Deandra : Hahahaha... Janji ya! Beneran lho! Udah ah, aku mau tidur dulu, biar stress-nya ilang. Bye Mr. E.

Me               : Bye Dede, See you at school!

Dede Deandra signed out

***

Jumat, 13 Juli 2012 08:55 AM

Ruang Guru

"Aku ga mengerti, Mr. Edmund. Who was that evil girl in my class?"

Viola, rekan kerjaku menangis terisak di pelukanku tanpa henti. Sudah 15 menit bahuku basah karena air matanya yang terus menetes.

Pada jam pelajaran English yang diampunya tadi, Dede membentak Viola dengan kata-kata yang sangat melecehkan. Padahal selama ini hubungan keduanya sangat baik. Viola pun selalu memuja prestasi dan kepribadian Dede yang dianggapnya paling baik di antara anak-anak lain di sekolah ini.

Aku tahu ini pasti buntut dari masalah-masalah yang menimpa Dede belakangan ini. Pusing juga aku dikelilingi oleh perempuan-perempuan yang perasaannya sangat sensitif dan labil. Padahal baru kemarin aku melihat mereka akrab bercanda soal idola masing-masing.

“Mendingan aku, sukanya sama Justin Bieber karena emang dia ganteng, daripada Ms Viola, sukanya sama Whitney Houston, udah penyanyi jadul, bunuh diri pula! Dih, apa enaknya bunuh diri, masalah nggak selesai mati juga akhirnya.”

Ledekan itu pun berakhir dengan kata ampun yang keluar dari mulut Dede karena perutnya digelitik Ms. Viola tanpa henti.

Menurutku Ms. Viola pun bukan guru yang memiliki kepribadian yang dewasa. Seringkali emosinya meledak-ledak. Tiba-tiba marah, tapi sejam kemudian tertawa lepas, mendadak menangis, tapi tak lama menari-nari senang. Tadi pagi saja dia masih berbagi cerita lucu denganku sambil menyantap sarapannya. Saking lucunya cerita-cerita kami, sampai dia pun menyemburkan makanan yang disantapnya ke kemeja batik putihku. Alhasil aku pun memaksanya membersihkan hingga semua noda di kemejaku hilang.

“Pokoknya bersihin sampai kayak baru beli!” paksaku sambil menarik tangannya yang menggengam tissue ke arah dadaku yang berlumuran saus kacang.

Aku memang dipandang Viola sebagai salah satu teman yang lebih dewasa dan nyambung untuk diajak bicara, baik itu serius, santai, maupun serius tapi santai. Karena itulah aku cukup dekat dengannya. Ditambah lagi status kami berdua masih sama-sama lajang. Tak jarang kedekatan kami menimbulkan gosip di kalangan rekan-rekan guru maupun murid-murid di sekolah ini. Tapi sejauh ini, kami berdua memang masih menikmati kelajangan kami dan menganggap hubungan ini lebih baik bila hanya sebatas teman dekat saja.

“Udah, diminum dulu tehnya biar sedikit lega. nanti keburu dingin tuh.” kataku mencoba melepaskan pelukan Viola yang masih sesenggukan.

"She talked and acted like an evil. Itu bukan dia. Aku tahu, itu bukan Dea murid kita. Dia tidak pernah bicara dan berlaku seperti itu sebelumnya." ujar Viola lirih sambil menyesap teh hangat yang aku buatkan.

"Tapi akhir-akhir ini, dia memang berubah. Dia lebih sering murung dan menyendiri di balkon. Nanti aku akan bicara dengan Mr. Zain. Dia kan guru BP, pasti tahu apa yang harus dilakukan. Udah, jangan nangis lagi, kayak bocah aja!” godaku sambil mengusap sisa-sisa air mata Viola yang menggenang di wajah bulatnya.

Bersamaan dengan itu, tanpa disangka Dede melintas,tak jauh di depan meja tempat aku dan Viola berada, menuju ruangan Kepala Sekolah yang terletak di sebelah ruangan guru. Dia melintas perlahan dan cukup dekat. Cukup dekat pula untukku bisa melihat wajahnya yang menunduk namun sesekali mencuri pandang, memunculkan tatapan tajam ke arahku dan Viola bak macan yang hendak menerkam mangsanya.

“Aku takut Mr. Edmund” bisik Viola seraya mencengkeram lenganku seolah meminta perlindungan.

“Hush, dia itu masih anak-anak, kok malah kamu yang takut,” hiburku mencoba menyembunyikan kekhawatiranku akan apa yang terjadi selanjutnya. Karena yang aku tahu, kalau seorang anak sudah dipanggil Kepala Sekolah, maka hari berikutnya dia tidak akan masuk, mungkin diskors, atau bisa juga trauma.

Di sisi lain, aku pun mengkhawatirkan Viola. Menurutku, kalau Dede sampai menatapnya begitu tajam, maka pasti ada sesuatu yang salah, entah dengan Viola, dengan Dede, atau dengan keduanya.

Aku harap kekhawatiranku salah. Aku harap tidak akan terjadi apa-apa dengan Dede karena aku masih percaya Dede adalah seorang anak perempuan yang ceria, cerdas dan juga ramah, sangat pantas menjadi figur murid teladan.

No comments:

Post a Comment